Negara, Modal, dan Rakyat: Membaca Ulang Politik Hukum Agraria di Kalimantan Timur

waktu baca 4 menit
Jumat, 31 Okt 2025 14:59 0 36 Harian Republik

Harianrepublik.com- Kasus konflik lahan di Desa Jongkang Dalam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menjadi potret nyata dari bagaimana politik hukum agraria di Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam mewujudkan keadilan sosial.

Peristiwa penahanan seorang petani bernama Mustapa karena menolak penggusuran oleh perusahaan tambang PT Multi Harapan Utama (MHU) mencerminkan ketimpangan struktural antara kepentingan korporasi besar dan hak hidup masyarakat kecil.Bagi saya sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang mempelajari politik hukum agraria, kasus ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan cermin kegagalan tata kelola agraria yang responsif terhadap prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3).

Konflik tersebut memperlihatkan gesekan antara masyarakat penggarap yang selama puluhan tahun menggantungkan hidup pada lahan, dengan perusahaan yang memiliki hak guna usaha (HGU) secara legal. Namun legalitas formal tidak serta-merta meniadakan legitimasi sosial masyarakat atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Penahanan terhadap petani memperlihatkan lemahnya perlindungan hukum terhadap rakyat kecil, sementara birokrasi daerah tampak belum siap mengharmoniskan kebijakan nasional dengan kondisi sosial di lapangan. Di sinilah tampak bahwa persoalan agraria di Indonesia bukan hanya soal hukum administratif, tetapi juga soal distribusi kekuasaan dan keberpihakan negara terhadap rakyat.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebenarnya telah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagaimana amanat Perpres No. 62 Tahun 2023, sebagai langkah mempercepat redistribusi dan legalisasi tanah bagi masyarakat kecil. Namun, lemahnya implementasi dan tumpang tindih kewenangan di tingkat daerah menjadikan kebijakan ini belum mampu menjawab akar masalah. Penetapan HGU tanpa dialog dan penataan partisipatif justru mengabaikan hak-hak ulayat serta keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Ini menunjukkan bahwa politik hukum agraria kita masih condong pada kepentingan ekonomi dan investasi ketimbang pemenuhan hak rakyat atas tanah.

Dalam pandangan saya, politik hukum agraria seharusnya tidak berhenti pada retorika “hak menguasai negara atas bumi dan kekayaan alam”, melainkan diwujudkan dalam kebijakan yang menjamin akses dan keadilan bagi rakyat. Mengacu pada pandangan Urip Santoso dan V. Ervinda, politik hukum agraria idealnya menjadi instrumen untuk menyeimbangkan kepentingan negara, modal, dan rakyat, bukan mengorbankan yang lemah demi kepentingan investasi.

Sayangnya, kasus Jongkang menunjukkan arah sebaliknya: negara justru tampak menjadi perpanjangan tangan kepentingan modal melalui regulasi yang mengesampingkan dimensi sosial.

Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya melihat bahwa akar dari persoalan ini adalah ketidaksiapan birokrasi daerah dalam menerjemahkan kebijakan agraria nasional secara kontekstual. Lemahnya koordinasi antar instansi, kurangnya transparansi dalam penetapan HGU, serta absennya mekanisme partisipasi publik menyebabkan kebijakan berjalan top-down tanpa mendengarkan suara masyarakat.

Padahal, dalam kerangka pemerintahan yang demokratis, partisipasi rakyat adalah elemen penting agar kebijakan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga legitimate secara sosial.

Oleh karena itu, penyelesaian konflik seperti di Jongkang tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan hukum atau mediasi politik sesaat. Diperlukan reformasi tata kelola agraria yang menggabungkan pendekatan hukum, sosial, dan politik. Pemerintah daerah harus berperan aktif membangun ruang dialog antara masyarakat dan perusahaan, memastikan setiap izin usaha tambang maupun perkebunan disertai dengan pemetaan sosial dan kompensasi yang adil. Tindakan represif terhadap petani harus dihentikan, diganti dengan pendekatan partisipatif yang menghargai hak mereka sebagai warga negara.

Kasus Jongkang Dalam harus menjadi pelajaran penting bagi negara bahwa reforma agraria bukan sekadar program administratif, melainkan gerakan politik hukum yang menegaskan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Tanah bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga sumber kehidupan dan martabat manusia. Jika negara terus memihak pada kekuatan modal dan mengabaikan hak rakyat, maka konflik agraria akan terus berulang, merusak kepercayaan publik, dan menggerus makna keadilan sosial itu sendiri.

Sebagai bagian dari generasi yang belajar politik hukum agraria, saya percaya bahwa tugas kita bukan hanya memahami regulasi, tetapi juga memperjuangkan agar hukum menjadi alat pembebasan bukan penindasan. Sudah saatnya kebijakan agraria di Indonesia diarahkan kembali pada cita-cita konstitusional: menyejahterakan rakyat, bukan mengorbankan mereka.

Penulis : Rossa Tri Rahmawati Bahri

Prodi : Ilmu Pemerintahan (A) 2023 Unmul

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    LAINNYA