Izward Zaliannur, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman.Opini – Kabar duka datang dari Pulau Sumatra Bencana. Bencana tanah longsor sampai banjir bandang yang berdampak di berbagai wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, Dan beberapa wilayah yang lain. Bencana ini diprediksi terjadi karena curah hujan yang tinggi bertepatan dengan Sumatra sedang berada dalam musim hujan yang puncaknya terjadi pada tanggal 25,26,27 November 2025 yang mana hingga menyentuh 411 mm per hari terutama di Kabupaten Bireuen. Tetapi ada salah satu faktor yang sangat amat mempengaruhi fenomena ini, yaitu adanya aktifitas pemanfaatan lahan di sejumlah area di bagian hulu yang berubah menjadi lahan kering.
Hal tersebut memperparah dampak dari musibah yang terjadi karena tidak ada kawasan alami yang berfungsi sebagai penahan air, yang membuat wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. akibat dari pada itu adalah air hujan yang turun langsung mengalir cepat ke arah sungai dan memicu banjir yang terjadi. Lalu adanya kayu gelondongan yang memiliki diameter yang besar terseret arus banjir bandang, yang membuat masyarakat bertanya dari manakah asal kayu sebesar itu?. Kayu-kayu tersebut bukan pohon tumbang biasa, melaikan sebagai bukti bahwa adanya aktivitas manusia seperti pembukaan lahan sawit, pertambangan, dan penebangan liar yang terjadi di daerah Hulu Sumatra.
Dampak dari bencana alam yang terjadi di Pulau Sumatra ini sangat memprihatinkan, data yang saya dapat per hari jumat 06 desember 2025, setidaknya ada 914 orang meninggal dunia, 389 jiwa dinyatakan hilang, dan korban luka mencapai 2.700 jiwa.
Hal seperti ini bisa saja terjadi di Kalimantan, terutama di provinsi Kalimantan Timur karena adanya persamaan yang signifikan jika kita lihat dari pola kebijakan dan praktik eksploitasi yang mengabaikan fungsi dari ekologis lahan, Kalimantan Timur terkenal dengan pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. data yang saya dapat dari tahun 2001 hingga 2024, Kalimantan Timur kehilangan 3,1 juta hektar tutupan pohon, setara dengan 27% dari luas tutupan pohon tahun 2000. hal ini tidak jauh berbeda dengan pulau Sumatra karena data dari detik.com yaitu ada lima provinsi dengan deforestasi tertinggi berada di Sumatra dan Kalimantan, yaitu Riau (4.3 juta ha), Kalimantan Barat (4.2 juta ha), Kalimantan Tengah (3.9 juta ha), Sumatra Selatan (3.3 juta ha), dan Kalimantan Timur (3,1 juta ha).
Saya menulis opini ini karena merasa cemas dengan masa depan Kalimantan Timur. Jika kebijakan terus berjalan seperti sekarang, apa yang terjadi di Sumatra bisa menjadi gambaran nyata untuk Kalimantan Timur kedepannya. Kaltim memang kaya akan batu bara dan sawit, tetapi dengan fakta itulah kaltim berada di bawah tekanan besar dari industri ekstraktif, sama seperti Sumatra. Bedanya, Kalimantan Timur menjadi lokasi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Sayangnya, IKN yang disebut sebagai “Forest City” justru berdiri di atas regulasi yang lemah dan lingkungan yang sudah rusak akibat tambang. oleh karena itu pemerintah harus sadar bahwa secanggih apa pun infrastruktur yang dibangun, tidak akan mampu menahan bencana alam jika daerah aliran sungai (DAS) di sekitarnya terus dijual dan diabaikan.
Oleh karena itu, diperlukan gerakan dan kebijakan dasar yang bisa mencegah ancaman ini terjadi. Gerakan ini bisa dimulai dari revisi UU Cipta Kerja (UUCK) dan aturan turunannya. Karena, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya ini masih membukakan ruang yang longgar untuk perizinan dan pengawasan lingkungan.
Kita menuntut pemerintah untuk menghentikan kebijakan ekstraktif (kebijakan pemerintah yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk pertumbuhan ekonomi) yang memprioritaskan kemudahan investasi di atas keselamatan rakyat. Revisi UU Cipta Kerja harus mengembalikan kekuatan pengawasan lingkungan, memperketat perizinan di area hulu daerah aliran sungai, dan memastikan sanksi pidana yang benar-benar memberikan efek jera kepada korporasi perusak lingkungan.
Penulis : Izward Zaliannur, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman.
Tidak ada komentar